Akhir
pekan kemaren, Sabtu, 29 September 2012, sebuah kejadian kembali menyelimuti dunia
penerbangan tanah air. Kecelakaan Bravo 202 dalam atraksi akrobatik di
pagelaran Bandung Air Show 2012 ini mengakibatkan tewasnya dua orang penerbang
Indonesia. Dan spekulasi yang berkembang kembali menuding HEsebagai sebab
terjadinya kecelakaan ini.
Nah,
sebenarnya apa sih HEitu? Jika dirunut hingga saat ini, tidak ada konsensus
yang memberikan satu pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan HE. Hal ini
disebabkan terjadinya perbedaan cara pandang terhadap HEitu sendiri berdasarkan
sudut keilmuan. Secara sederhana HEdipandang sebagai deviasi dari tindakan yang
seharusnya.
Bagaimana
terjadinya HE? Hal inilah yang perlu kita pelajari lebih jauh sehingga tidak
mengklaim bahwa jika ada unsur HE, itu hanya terjadi karena ketidaktahuan. HE
mempunyai banyak bentuk dan terjadi atas berbagai sebab di belakangnya. Ada dua
pandangan atas HE ini yang dijadikan mahzab bagi yang berkecimpung di dunia
analisis kecelakaan. Yang pertama adalah HE merupakan sebab terjadinya
kecelakaan, sebaliknya kelompok kedua memandang HE sebagai akibat dari suatu
proses sebelum error terjadi.
HE
sendiri umumnya memperlihatkan adanya keterkaitan antara error yang satu dengan
lainnya, begitu juga adanya pengaruh-pengaruh dari luar si manusia itu sendiri,
seperti manajemen, organisasi serta insitusi. Untuk itu sebaiknya kita kenal
terlebih dahulu tiga level performance berdasarkan psychological and
situational mode, yaitu:
Skill-based
Rule-based dan
Knowledge-based performance.
Skill-based
performance yaitu performance seseorang atas suatu kondisi rutin. Kegiatan yang
dilakukan secara rutin menjadikannya bisa berada pada level terbaiknya karena
sudah terprogram dan dilakukan secara terus-menerus.
Rule-based
performance yaitu performance seseorang atas suatu kondisi yang berada pada
situasi antara rutin dan tidak. Di sini seseorang terkadang harus berhadapan
pada situasi yang mengharuskannya mengacu pada panduan-panduan yang ada. Dalam
menghadapi situasi ini seseorang akan melakukan suatu tindakan berdasarkan
kondisi yang dialaminya yang disesuaikan dengan panduan yang ada.
Knowledge-based
performance yaitu performance seseorang atas suatu kondisi non-routine dan
tidak ada panduan untuk mengatasinya. Kondisi ini menjadikan seseorang harus
melakukan tindakan yang dia tidak mempunyai referensi sehingga berada pada
bukan pada level terbaik performance –nya.
Ketiga
kondisi diatas bisa saja terjadi secara bersamaan, seperti pada dua kejadian di
dunia penerbangan Indonesia yang akan saya jadikan contoh. Berdasarkan performance
level diatas, maka bisa dikategorikan HE, yang secara umum adalah slips,
lapses, mistakes dan violations
1 Slips and lapses
Kedua
kelompok ini diasosiasikan dengan errors dalam kategori skills. Ini
terjadi pada situasi rutin namun tindakan yang diambil tidak berjalan sesuai
prosedur. Slips berhubungan dengan observasi dimana biasanya akan
terjadi attentional or perceptual failures (kesalahan pengamatan atau
persepsi). Sedangkan lapses lebih kepada internal seseorang, yaitu
berhubungan dengan memori atau ingatan.
2 Mistakes
Errors
dalam kategori ini berhubungan dengan dua hal, yaitu rule (peraturan)
dan knowledge (pengetahuan). Kondisi ini terjadi karena berada dalam
situasi tidak sepenuhnya mengetahui solusi dari apa yang terjadi karena di luar
rutinitas sehingga seseorang harus mengambil keputusan berdasarkan keadaan yang
ditemui dan panduan yang dia miliki.
Beberapa
kemungkinan kesalahan bisa terjadi karena tindakan dilakukan atas dasar panduan
yang dimiliki, terlepas dari benar salahnya panduan yang ada. Dan ini
merupakan mistakes yang berhubungan dengan rule.
Sedangkan errors
dalam kategori knowledge terjadi karena tidak adanya pengetahuan dalam
menghadapi suatu masalah karena ketiadaan persiapan sehingga suatu keputusan
harus diambil tanpa/kurangnya pengetahuan.
3 Violations
Untuk
kategori ini, errors terjadi karenanya deviasi dari prosedur-prosedur atau
standar-standar operasi yang aman. Dalam menentukan level violation
(pelanggaran) pun harus berhati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi.
Misalnya pelanggaran rutin yang dilakukan karena lemahnya sanksi perusahaan dan
biasanya pelanggaran ini dilakukan karena seseorang merasa memiliki skill yang
bagus sehingga beberapa prosedur yang bisa diabaikan akan diabaikan. Ada pula
pelanggaran yang dilakukan karena motivasi, misalnya ingin memperlihatkan
kemampuan landing di tengah situasi yang mengharuskan pilot untuk go around.
Namun ada juga violations yang memang harus dilakukan, seperti menolak perintah
manajemen untuk terbang karena kondisi pesawat bisa membahayakan penerbangan.
Nah,
bagaimana kalau kita lihat beberapa contoh yang terjadi di dunia penerbangan
Indonesia. Saya akan ambil beberapa kasus kecelakaan di Indonesia dan
report-nya sudah dirilis oleh KNKT. Hal ini agar contoh yang diperlihatkan
tidak merupakan suatu praduga namun analisa berdasarkan data resmi yang dirilis
oleh otoritas.
Pada insiden
Mandala Airlines MDL 493, 5 April 1999 saat landing di tengah hujan di Bandara
Hasannudin, Ujung Pandang. Menurut hasil investigasi KNKT ditemukan bahwa:
·
Both pilot did
not recognize that the weather over the airfield had changed from cloudy
(cumulonimbus formation) at 06:30 LT to heavy rain within minutes, at 06:37 LT.
·
Both pilots
showed a lack of situational awareness during the high work load period of the
landing procedures. The cockpit crew apparently did not rely on flight
instruments readings, but seem to trust visual of the environmental and weather
conditions. The weather information of the ATC (ATIS) was also not
acknowledged, which may be an indication of the possibility of an unawareness
of the weather conditions.
·
The PIC, who
was also the pilot flying, was quick in his decision making, which
apparently made and implemented without
consulting the Co-pilot. The Co-pilot seemed
not to be assertive enough to challenge or comment on the PIC’s decision
making and/or handling the aircraft.
Secara
sederhana dari beberapa temuan yang saya ambil diatas, dapat dilihat adanya
indikasi skills-based errors (slips), rule- based errors (mistakes) dan juga
knowledge-based errors (mistakes).
Berbeda
dengan kasus Mandala Airlines diatas, pada kecelakaan Dirgantara Air Service AW
3130, 18 November 2000 di Datah Dawai, Kalimantan Timur ditemukan adanya
violations yang berakibat jatuhnya pesawat beberapa saat setelah take-off.
Beberapa hasil temuan KNKT adalah:
I.
PT. DAS
standard operating procedures limit the take-off payload from Datah Dawai to
496 kg. The actual take-off payload was 913.5 kg, exceeding the company’s standard by 417.5 kg,
or by 84% of the allowed payload weight.
II.
The PIC
apparently has a wrong perception on take-off procedures. He thought that the
optimum take-off performance could be achieved by taking-off with a higher
velocity. Meanwhile, in achieving high velocity one has to role closer to the
obstacles, which forced the aircraft to maintain a higher rate of climb.
III.
The passengers
reported the PIC made a deal for the sale of seat to the last two passengers.
Therefore there was more passengers load to the aircraft.
Pada
kecelakaan di atas saya ingin memperlihatkan bagaimana violations dilakukan,
yaitu dengan sengaja menyalahi prosedur atas dasar motivasi pribadi.
Perlu
diingat bahwa ini merupakan contoh hanya berdasarkan laporan investigasi resmi
dengan tujuan memberikan gambaran atas apa yang dimaksud dari penjelasan konsep
di atas tanpa ada tendensi untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Laporan
resmi dari kasus yang diambil di atas bisa didownload dari website resmi KNKT.
Terlepas
dari konsep HE yang saya uraikan di atas, saya kembali menegaskan bahwa
analisis kecelakaan tidak berhenti disini saja, karena perlu dilakukan kajian
kenapa HE ini terjadi. Misalnya ketika terjadinya rule-based mistakes ternyata
perusahaan tidak menyediakan manual untuk menghadapi suatu kondisi atau
knowledge-based mistakes ternyata ada kontribusi perusahaan dengan tidak adanya
training.
Jadi
ada faktor-faktor yang di belakang HE ini, seperti adanya kontribusi dari
organisasi dalam suatu insiden atau kecelakaan karena banyak studi yang
membuktikan kontribusi organisasi dalam kecelakaan. Seperti yang dilakukan oleh
Dambier atas 239 kecelakaan di Jerman dari tahun 2004-2006 dan menemukan 15%
kontribusi organisasi atas kecelakaan, seperti insufficient maintenance dan
missing aircraft parts. Sementara itu di India, Gaur menemukan kontribusi
organisasi atas 48 kecelakaan penerbangan yang terjadi dalam kurun waktu
1990-1999 adalah 52,1% dengan unsafe supervision mencapai 25%. Dan di salah
satu jalur padat penerbangan, Cina, studi yang dilakukan oleh Li, Harris serta
Yu, menemukan kontribusi organisasi adalah 17,3% atas 41 kecelakaan penerbangan
yang terjadi dari tahun 1996 hingga 2006.
Semua tulisan di site ini hanyalah
untuk belajar dan meningkatkan ketrampilan personel penerbangan dan menambah
wawasan masyarakat umum. Jika ada perbedaan dengan dokumen resmi dari otoritas
yang berwenang dan pabrik pesawat, maka dokumen resmilah yang berlaku.
0 comments:
Post a Comment